Ritual tahunan, merayakan tahun baru Masehi, entah kenapa, seperti menjadi tradisi yang makin melekat kuat di masyarakat. Padahal, tidak ada korelasi langsung antara kehidupan sebagian besar masyarakat kita dengan tahun baru Masehi.
Barangkali, tahun baru hanya sebuah momentum yang diklaim banyak orang sebagai awal dari sebuah rentang waktu, untuk melakukan pencapaian-pencapaian tertentu. Itu pun bagi saya hanya sebuah statement ideal, karena pada praktiknya, perayaan tahun baru hanya sebatas eskapsi sementara dari berbagai persoalan hidup yang semakin terasa berat. Selepas itu, orang kembali pada rutinitas dan bahkan seringkali tidak peduli apakah ada target yang harus dicapai atau tidak.
Kita terlalu sibuk untuk sekedar menelisik diri sendiri. Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup kerap membuat kita tak sempat untuk merenung, menghitung dan menimbang kemajuan atau kemunduran perilaku kita. Semangat hedonis dan pemujaan terhadap materi bendawi sering membutakan mata hati kita bahwa ada sisi lain dalam diri kita yang terlupakan.
Jika ukuran sukses adalah materi, maka banyak sekali orang yang telah meraihnya dengan gemilang. Salahkah mengukur sukses dengan takaran materi? Tentu tidak, karena keberhasilan mengumpulkan harta juga merupakan salah satu tolok ukur sukses. Yang salah adalah melihatnya hanya dari satu dimensia dan mengukurnya hanya dengan satu parameter. Padahal banyak parameter lain yang juga bisa dan bahkan harus digunakan untuk mengukur sukses. Kepekaan sosial, kesalehan beragama, adalah dua di antara sekian banyak hal yang patut juga dijadikan ukuran sukses.
Hanya saja, jika sukses diukur dengan harta, menghitungnya jauh lebih mudah, karena mengandalkan angka-angka yang tak sulit untuk dikalkulasi. Lalu bagaimana jika kita ingin mengukur sukses dengan kepekaan sosial atau kesalehan beragama? Meskipun tidak menggunakan angka, tetap harus ada kalkulasinya. Kuncinya cuma satu: kejujuran. Jujurlah pada diri sendiri: apakah kepekaan sosial kita mengalami peningkatan? Apakah sholat kita (untuk muslim) sudah tidak bolong-bolong lagi? Apakah kewajiban menyisihkan sebagian harta yang kita peroleh sudah dipenuhi? Sekedar mengingatkan, dalam rezeki yang kita terima, ada hak orang lain yang tidak boleh kita makan.
Intinya, sukses itu memiliki lebih dari satu dimensi. Dan untuk bisa disebut sukses, maka semua dimensi itu harus terukur, dikalkulasi, dan ditakar. Jika semua dimensi itu memiliki kualitas yang seimbang, maka berbahagialah Anda, karena lemungkinan besar sukses ada di tangan Anda.
Kalau tahun baru ini dijadikan momentum untuk 'berhitung', menakar kualitas diri, maka tidak ada yang salah dengan itu. Tahun baru, bukan sekedar pesta, menghamburkan uang, malakukan hal-hal yang tidak perlu, sementara di sekitar kita masih banyak orang yang perutnya lapar, anak-anaknya tidak sekolah, dan bahkan tinggal di emperan toko atai di kolong-kolong jembatan. Rasanya akan jauh lebih bijak jika kesempatan awal tahun ini kita gunakan untuk merenung, melakukan kontemplasi, sebelum dihitung oleh yang Maha Menghitung.
Panjalu, Januari 2008.
0 comments:
Posting Komentar