Pertengahan Desember 2007 lalu, saya 'dipaksa' untuk melawat ke tempat Sultan. Maksud saya, Yogyakarta. Saya bilang 'dipaksa' karena sebetulnya saya masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tapi untuk menolak, nggak enak juga, karena sudah beberapa kali ajakan itu saya tolak. Maka, tak ada alasan lagi untuk berkelit, jadilah saya berangkat ke kota yang sudah belasan tahun tidak saya kunjungi.
Sebagai tempat tujuan wisata, Yogyakarta memang nggak ada matinya. Banyak tempat yang bisa dikunjungi untuk sejenak melepaskan diri dari rutinitas hidup yang seringkali membuat kita suntuk. Refreshing, kira kira semacam itulah. Dengan suasana yang berbeda, atmosfir yang berbeda, mudah-mudahan energi yang telah terkuras oleh rutinitas bisa kembali fresh.
Mengintip masa lalu... |
Sayangnya keinginan untuk menikmati suasana masa lalu ini sangat terganggu dengan kehadiran pedagang asong yang sangat agrresif menawarkan dagangannya. Selain itu, pengaaturan pintu keluar dari kawasan Borobudur yang diatur sedemikian rupa sehingga kita 'dipaksa' untuk berputar-putar melewati kios-kios pedagang cendera mata, terasa sangat melelahkan. Jarak yang sesungguhnya dekat dari kawasan candi menuju pintu keluar menjadi lebih jauh beberapa kali lipat!
Di urutan kedua, orang biasanya memilih keraton. Daya tarik keraton barangkali terletak pada soal konservasi budaya, termasuk budaya politik khas keraton, yang sampai saat ini masih dipertahankan. Berbeda dengan di wilayah Pasundan, bekas-bekas kerajaan di Jawa Tengah termasuk di Yogyakarta ini masih jelas jejak-jejaknya. Berbagai peninggalan dan warisan zaman keemasan kerajaan-kerajaan di Jawa masih ada. Keraton, candi-candi dan lain-lain masih bisa kita lihat keberadaannya hingga saat ini.
Sebetulnya masih banyak yang bisa dikunjungi. Namun keterbatasan waktu dan keterbatasan energi, membuat kita harus pandai-pandai memilih dan membatasi tempat yang akan dikunjungi. Jangan sampai tujuan kita untuk refreshing malah tidak tercapai karena kita justru kecapekan. Bukannya refreshed, yang ada malah exhausted :-)
Yang menarik sekaligus menjadi pengalaman berharga adalah pertemuan saya dengan sastrawan dan budayawan Sunda Ajip Rosidi. Pak Ajip yang sudah kelihatan agak sepuh di usianya yang ke 70, saat ini tidak lagi mengajar di Jepang dan memilih tinggal bersama sang istri di kawasan Pabelan Yogyakarta. Bersama Bu Empat, sang istri yang juga berusia 70 namun masih kelihatan sehat dan enerjik, Pak Ajip mengelola 'Saung Makan Bu Empat' tidak jauh dari rumahnya.
Posing bersama Pak Ajip Rosidi (tengah) |
Rumah makan yang berlokasi di kawasan berhawa sejuk itu ditata berupa saing saung asri yang terbuat dari bambu beratap ijuk. Di belakang saung-saung itu mengalir sungai kecil yang bersumber dari mata air milik Pak Ajip di sekitar kebun salak pondoh yang juga miliknya. Menurut Bu Empat, di belakang kebun itu juga terdapat tambak udang milik beliau yang menjadi pemasok menu utama di rumah makan tersebut, udang bakar saus tiram yang lezat.
Rasa lelah setelah perjalanan panjang ternyata ditutup dengan pertemuan yang mengesankan. Keramahan khas Sunda dari pasangan budayawan ini membuat saya serasa berada di tanah Parahyangan. Mereka bahkan menemani kami makan sambil ngobrol ngalor ngidul, tentu saja menggunakan bahasa Sunda. Suasana akrab sangat terasa, apalagi setelah Pak Ajip mengetahui bahwa saya dan kakak saya juga penggemar tulisan-tulisan beliau.
Di tengah hujan rintik-rintik yang turun sore itu, kami akhirnya harus berpisah. Pak Ajip membekali kami tiga eksemplar majalah berbahasa Sunda 'Cupumanik' yang dikelolanya, dan Bu Empat membekali kami dengan sekantung besar salak pondoh yang manis, for free!
0 comments:
Posting Komentar