Berbahagialah mereka yang memiliki segalanya di dunia ini: pribadi yang mapan, keluarga yang utuh, dan negara dengan konsep yang jelas. Pribadi yang mapan jelas penting demi kelangsungan hidup secara individu. Ini adalah modal untuk meniti tahap berikutnya: keluarga yang utuh. Lalu kenapa harus ada negara dengan konsep yang jelas? Ini erat kaitannya dengan kelangsungan nasib anak cucu kita di kemudian hari.
Masa depan harus dipersiapkan dan tidak bisa mengandalkan konsep 'gimana nanti'. Harus jelas, bahkan jika memungkinkan harus sampai pada 'titik koma'. Apalagi jika itu menyangkut masa depan sebuah negara. Konsep yang dibuat tentu harus jauh lebih baik dari sekedar konsep untuk individu. Peraturan, undang-undang dan kebijakan, semuanya harus bermuara pada sebuah konsep yang benar, pasti dan terarah. Dengan demikian, tidak akan terjadi keputusan atau kebijakan pemerintah yang 'sabulang bentor' alias 'ngawur' dan terkesan tanpa arah yang jelas.
Reformasi menghembuskan sesuatu yang baru dan dielu-elukan semua orang: demokratisasi yang lebih baik. Di sisi lain, ada kecenderungan untuk 'menajiskan' apa pun yang berasal dari masa lalu, terlepas dari apakah hal itu baik atau buruk. Pokoknya, tak ada tempat untuk masa lalu! Padahal, sikap seperti itu tentu saja sangat tidak konstruktif dan kekanak-kanakan. Sejarah, masa lalu, adalah ibarat cermin tempat kita mengevaluasi diri sekaligus belajar. Yang buruk kita buang, yang baiknya kita contoh.
Saya ingat waktu di SD dulu, pernah belajar apa yang disebut Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Dengan konsep seperti ini, maka pencapaian kinerja pemerintah (minimal secara teori) bisa diukur. Ada prioritas dan sasaran utama dalam setiap Repelita. Namun sayangnya, selepas tahun 1998 konsep itu tidak dipakai lagi karena dianggap 'warisan Orde Baru'. Padahal ini bukan soal orde baru, orde reformasi, atau orde peduli setan sekali pun, ini adalah soal memilih mana yang baik dan mana yang bermanfaat.
Lihatlah apa yang terjadi sekarang ini. Pemerintahan saat ini seperti kebingungan dan tidak tahu hendak melangkah ke mana. Banyak kebijakan yang seolah-olah diambil secara terburu-buru tanpa memikirkan akibat yang mungkin timbul. Selain itu, campur tangan asing (dalam hal ini Amerika) sangat terasa dalam berbagai kebijakan pemerintah. Kita menjadi bangsa kelas pembokat, yang nasibnya ditentukan oleh 'majikan'-nya. Privatisasi BUMN yang membahayakan stabilitas, integritas dan kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara, kita amini tanpa pikir panjang. Dan ini adalah jelas-jelas konsep yang dijejalkan Amerika, demi kepentingan mereka sendiri.
Lalu, sampai kapan kondisi seperti ini akan berlangsung? Kita tidak tahu. Jika bernasib baik, mungkin sampai muncul kesadaran dari para pemimpin untuk benar-benar membuat rakyat Indonesia sejahtera. Atau kemungkinan buruknya: sampai negara ini benar-benar bangkrut digerogoti dari dalam dan dari luar. Mungkin sampai harga diri kita sebagai bangsa habis, tandas, tak tersisa. Mungkin.
0 comments:
Posting Komentar