25 September 2008

Bu Tunduh: Pembela Mahasiswa Dhuafa

Membaca tulisan Tian, jadi teringat kembali masa-masa sekitar 18 tahun yang lalu, ketika masih 'nyantri' di kampus Dipati Ukur. Kuliah bermodalkan niat saja, membuat saya harus benar-benar berhitung soal biaya hidup. Karena biaya kuliah sudah tidak bisa diganggu gugat, maka biaya yang lain harus benar-benar ditekan, termasuk biaya transport dan uang makan.
 
Angkot hanya digunakan jika memang benar-benar perlu dan tidak memungkinkan untuk ditempuh dengan jalan kaki. Alasan kerennya: biar sehat sekalian olah raga. Padahal uangnya memang nggak ada. Uang makan juga begitu. Saya harus putar otak agar tetap bisa kenyang dengan biaya seminim mungkin. Dan itu pula yang mencuatkan nama populer di kalangan mahasiswa berkantong pas-pasan: Bu Tunduh, provider menu murmer favorit.
 
Sebenarnya ada dua wanita perkasa bernama Bu Tunduh di sekitar kampus. Yang satu Bu Tunduh 'asli' yang berjualan di sebuah warung makan sederhana di belokan Singaperbangsa. Bersama suaminya dia mengelola warung makan 24 jam yang ramai dikunjungi mahasiswa dan tukang becak. Sementara yang satu lagi Bu Tunduh yang berjualan di tenda di depan perpustakaan dan hanya beroperasi selama 'jam kantor'. Suaminya adalah pegawai perpustakaan Unpad. Keduanya dipanggil Bu Tunduh karena matanya selalu terlihat seperti orang ngantuk. Tentu saja panggilan itu hanya diucapkan di belakang mereka, dan kemungkinan besar mereka tidak tahu kalau suka dipanggil dengan sebutan Bu Tunduh.
 
Dua tempat itulah yang menjadi tempat makan favorit demi alasan ekonomis. Dengan tarif yang berkisar antara Rp. 200 hingga Rp. 500 rasanya tidak berlebihan jika dua tempat itu menjadi warung makan terlaris di sekitar kampus. Kelebihan lainnya, sambil makan kita bisa 'nguping' berbagai isu yang beredar di kalangan masyarakat bawah karena tempat itu memang juga menjadi pilihan abang-abang tukang becak, kuli dll. Dalam bahasa gagah: sambil makan kita bisa menyerap aspirasi dari akar rumput (grass root). Dalam bahasa jujur: memang nggak ada pilihan lain :-)
 
Di warung Bu Tunduh depan perpus masih ada bonus lainnya. Si Ibu yang ramah ini selalu memanggil 'Aden' (untuk laki-laki) atau 'Eneng' (untuk perempuan) kepada mahasiswa yang makan di sana, tanpa memandang berapa rupiah jatah makan mereka. Semua sama, dihormati tanpa basa-basi.
 
Memang tidak semua mahasiswa suka makan di sana. Mereka yang berkantong tebal biasanya memilih tempat lain yang lebih 'representatif'. Beruntung saya kuliah di fakultas sastra yang mayoritas bergaya 'bohemian' dan tidak terlalu peduli soal penampilan dan gaya hidup. Demikian juga ketika bergabung di GSSTF yang habitatnya kurang lebih sama. Maka jadilah saya pelanggan setia dua Bu Tunduh, paling tidak sampai saat saya harus hijrah ke Jatinagor sekitar tahun 1992.
 
Sebagai tambahan, ada lagi orang yang dikenal oleh hampir semua mahasiswa di Dipati Ukur. Namanya Ade Botol (Kang Ade), penjual rokok dan minuman (teh botol dll.) di gerbang Hasanuddin. Kalau sudah kenal dekat, biasanya bisa ngutang rokok atau teh botol :-) Dia juga sekaligus berfungsi sebagai pusat informasi. Karena pergaulannya yang supel, Kang Ade mengenal hampir semua mahasiswa yang suka nongkrong di sana. Apalagi mahasiswa yang suka ngutang :-) Makanya gerbang Hasanuddin sering dipakai tempat untuk ketemuan atau janjian. Kalau orang yang janjian dengan kita belum datang, tinggal nanya: "Kang Ade, si anu jurusan anu udah datang belum?" Kang Ade pasti tahu.

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More