07 Agustus 2008

Antara PLN dan Ryan

Di tahun 80an Anda tentu kenal dengan nama Ryan Hidayat, aktor yang tampangnya bisa bikin kaum perempuan menjerit histeris. Bukan karena takut, melainkan saking senengnya karena sang aktor ini memang ganteng.
 
Siapa nyana, di tahun 2000an ini muncul kembali Ryan lain yang karakternya jauh berbeda. Mungkin sama-sama bisa membuat kaum hawa menjerit. Tapi kali ini bukan karena seneng, tetapi saking ngerinya. Betapa tidak, pria muda yang tampangnya sama sekali nggak serem ini dituduh polisi telah menjagal lebih dari 10 orang. Meski belum divonis di pengadilan, namun penyidikan polisi memunculkan bukti-bukti yang mengarah pada kebenaran tuduhan tersebut.
 
Lalu apa hubungannya dengan PLN? Saya katakan, keduanya sama-sama 'jagal'. Hah? Masa sih? Yang dijagal PLN memang bukan orang, tetapi barang-barang elektronik milik jutaan orang Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan. Yang dijagal memang 'CUMA' hak-hak konsumen yang seharusnya mendapatkan pelayanan terbaik.
 
Sejak naiknya harga BBM, PLN yang mengaku kekurangan pasokan bahan bakar melakukan pemadaman bergilir. Tapi di wilayah pedesaan bukan cuma itu. Saya yang tinggal di Panjalu, tiap hari selalu ketiban sial gara-gara terputusnya aliran listrik. Tidak lama memang, tetapi sering dan dalam satu hari bisa terjadi antara satu sampai 10 kali! Anda mungkin tidak percaya, tetapi itulah yang terjadi.
 
Ini sangat fatal, apalagi untuk perangkat semacam komputer. Dan sedah makan korban. Stabilizer dan UPS saya 'dijagal PLN, dan sekarang teronggok tanpa daya, tidak berfungsi lagi. Kedua alat tersebut tidak berdaya dihajar gaya pelayanan PLN yang semau gue memutus aliran listrik.  Komputernya sih belum, tapi rasanya tinggal menunggu waktu saja, jika terputusnya aliran listrik masih terjadi 'serajin' sekarang. Anda yang tinggal di kawasan perkotaan mungkin tidak akan pernah mengalami kejadian seperti ini.
 
Kenapa di pedesaan? Karena beberapa hal:
  1. Orang-orang di kawasan pedesaan dianggap bodoh, nggak sekolah, tolol dll., sehingga meski dianiaya dan dirampas hak-haknya sebagai konsumen pun tidak akan menuntut apa-apa. Stereotyping yang sungguh menyesatkan.
  2. Di kawasan pedesaan tidak ada pabrik besar milik pemodal besar yang ditakuti dan pembayar tagihan yang besar. Jadi PLN tidak perlu kuatir dituntut, karena orang-orang desa tidak punya pengacara.
  3. Warga pedesaan dianggap sebagai warga kelas dua. Ini memang sudah  lama terjadi dan bukan cuma PLN yang bersikap seperti ini. Pemerintah pun demikian. Maka jadilah mereka objek perlakuan yang sangat tidak adil.
  4. Sebaliknya, kota yang orang-orangnya dianggap lebih pinter, warga kelas satu, dan memiliki industri yang membayar tagihan listrik dalam jumlah besar kepada PLN, dianggap harus diutamakan dan diperlakukan sebaik-baiknya.
Nah, kembali ke soal mati lampu tiap hari, silakan hitung sendiri berapa kerugian masyarakat pedesaan yang perabotannya rusak gara-gara perlakuan semena-mena PLN ini. Jutaan orang mengeluhkan sikap PLN ini, tetapi tidak ada satu pihak pun yang bersimpati dan membela mereka. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang konon pembela kepentingan konsumen pun tidak terdengar suaranya. Mungkin mereka menganggap bahwa persoalan ini kurang bergengsi. Wartawan, yang rata-rata tinggal di kawasan perkotaan yang nyaman juga tak pernah mengangkat soal ini. Yang muncul hanya soal pemadaman bergilir. Pemerintah apalagi. Justru merekalah akar dari semua masalah yang terjadi saat ini.
 
Bagi kami, pemadaman bergilir masih mending bisa diatasi, karena biasanya ada pemberitahuan sebelumnya, sehingga kami bisa bersiap-siap untuk tidak menggunakan peralatan elektronik. Tapi mati lampu mendadak, itu yang bikin pusing, karena peralatan elektronik, apalagi yang sensitif seperti komputer, jadi sangat cepat rusak!
 
PLN sendiri sebagai 'penjagal' tidak pernah meminta maaf atas kejadian yang menyedihkan ini. Mereka barangkali menganggap bahwa hal itu sudah resiko konsumen. Padahal seharusnya, sebagai perusahaan yang mengaku profesional, soal meminta maaf jika terjadi kesalahan ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia usaha. Dan bukan cuma itu. Setelah meminta maaf harus ada usaha serius untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi.
 
Kalau meminta maafnya saja nggak, bagaimana bisa melakukan koreksi atas kesalahan mereka. Atau bahkan mungkin mereka merasa tidak bersalah sama sekali? Kalau demikian, maka saya berani bertaruh bahwa PLN terdiri dari orang-orang yang tidak berotak, atau otaknya ditaro di dengkul. Menyedihkan!
 
Indonesia memang negara ajaib. Yang seharusnya masuk penjara, malah ongkang-ongkang di luar sana. Yang harusnya dibela, malah ditelantarkan. Yang seharusnya dirangkul, malah ditendang. Yang seharusnya bertanggung jawab, malah bisa seenaknya cuci tangan, seolah-olah tidak bersalah.
 
Kalau Ryan si penjagal bisa ditangkap polisi dan menjalani proses hukum, kenapa PLN si penjagal hak-hak konsumennya tidak?
 
Ya, kenapa???!!!
 
Note: Saat saya menulis artikel ini (sekitar jam 8 pagi), sudah dua kali mati lampu. Siap-siap untuk mati lampu berikutnya :-(

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More