04 Juni 2008

PEMIMPIN SEJATI, DI MANAKAH KALIAN?

oleh: Tata Danamihardja
 
Orang menyebut kami RAKYAT, yang secara teoretis merupakan elemen terpenting dari sebuah negara demokrasi. Kami sangat populer dan seringkali disebut-sebut oleh banyak orang. Politisi, ekonom, budayawan, kalangan bisnis, birokrat, semuanya sering menyebut-nyebut kami. Apalagi di masa kampanye. Hampir semua orang selalu menyebut-nyebut kami, terutama para politisi yang ingin mencari posisi di pemerintahan. Pokoknya, tidak ada yang tidak kenal kami.
 
Tapi, berbeda dengan dunia entertainment, popularitas kami ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan. Kalau di dunia hiburan, semakin populer seseorang, semakin kaya dan banyak uang dia, tidak demikian dengan kami. Meski, seperti saya sebutkan tadi, rakyat secara teoretis merupakan bagian elemen terpenting dari sebuah negara demokrasi, namun pada praktiknya kami tak lebih dari sekedar komoditas yang dimanfaatkan dan dijual oleh banyak pihak demi kepentingan pribadi. Kami ternyata hanya objek dan bukan subjek yang menentukan.
 
Para calon pemimpin selalu bersikap sangat baik dan hormat kepada kami. Mereka selalu terkesan memiliki empati yang besar atas kondisi kami yang relatif tidak berubah dari dulu sampai sekarang. Mereka selalu berjanji akan menjadi pembela pertama kepentingan kami, sendainya mereka kelak menjadi pemimpin kami. Mereka menepuk bahu kami, sebagai tanda bahwa mereka sangat memahami kondisi dan keinginan kami. Mereka membuat kami berpikir bahwa merekalah calon pemimpin sejati yang akan membuat kami menjadi manusia utuh yang bermartabat.
 
Ternyata segala perlakuan manis itu hanya terjadi ketika mereka masih menjadi calon pemimpin. Ketika mereka akhirnya terpilih menjadi pemimpin kami, mereka segera saja menjadi orang asing bagi kami. Mereka tak kenal kami lagi. Dan celakanya, semua itu terus berulang, menjadi siklus yang nyaris abadi, sejak republik ini berdiri. Kami selalu jadi sekedar tukang dorong mobil para calon pemimpin, yang segera ditinggalkan begitu mobilnya jalan dan tak perlu dorongan kami lagi. Mereka lupa dengan janji-janji mereka terhadap kami.
 
Sejak krisis ekonomi tahun 1998, kami terus menerus ditimpa beban kehidupan yang semakin berat. Kata sebagian orang, kami ini punya kelenturan luar biasa dalam menghadapi tekanan beban kehidupan. Kami selalu mampu bertahan, seberat apa pun beban yang harus kami pikul. Tapi, kami sungguh tak perlu pujian itu. Kami melakukannya hanya karena memang tidak ada pilihan. Yang kami butuhkan adalah tindakan nyata para pemimpin untuk memperjuangkan kepentingan kami. Dan celakanya, justru itu yang tidak pernah kami dapatkan.
 
Ketika kami meneteskan air mata darah memohon agar harga BBM tidak dinaikkan, para pemimpin kami malah melengos. Telinga mereka tiba-tiba menjadi tuli. Padahal kami bukannya manja. Kami hanya merasa bahwa kami rasanya sudah tak kuat lagi menghadapi beratnya beban kehidupan. Tapi ternyata kami malah diperlakukan seperti sampah. Kami digiring agar diam dan tak usah bicara. Kami disuap dengan BLT. Kami diberi petuah ini itu yang intinya adalah tidak usah banyak tingkah. Terima saja apa yang sudah diputuskan, karena fungsi rakyat di sebuah negara demokratis pada prakteknya tak lebih dari sekedar jongos para petinggi yang tidak boleh dibantah. Sebuah kegagalan demokrasi yang sangat menyedihkan, memalukan, dan menjijikkan.
 
Yang jelas kami jadi tahu bahwa berkali-kali kami dipimpin oleh pemimpin-pemimpin palsu yang suka mengobral janji tetapi tak pernah ditepati. Kami selalu jadi objek penipuan orang-orang yang mengaku pemimpin. Bahkan saat ini, ketika isu BBM mulai memanas, sudah mulai bermunculan muka-muka yang berupaya memanfaatkan situasi. Mereka mencoba menjadi pahlawan kesiangan yang seolah-olah membela kami. Padahal kami tahu, mereka juga punya andil besar dalam menyengsarakan kami. Dan sekarang mereka mencoba mengambil hati kami dengan bersikap seolah-olah menjadi pembela kami. Ah, kami jadi mual dan ingin sekali membuang muntahan kami di muka mereka.
 
Walau pun sering ditipu, kami tetap merindukan pemimpin, tapi bukan seperti pemimpin-pemimpin yang pernah menipu kami, melainkan pemimpin sejati, yang benar-benar ingin membela kami. Kami terus berharap, karena hanya dengan cara itulah kami bisa bertahan. Meski kami juga menyimpan keraguan di hati kami: masih adakah pemimpin sejati untuk kami?
 
 

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More