Ketika pusaran angin menghentakkan setiap kesadaran ke titik nadir, maka terciptalah sebuah gerakan kolektif yang sangat robotik. Seakan tak ada lagi hasrat murni pribadi yang tak terkungkung dalam pusaran kolektivitas kegenitan, yang tanpa ampun menelanjangi setiap titik kesadaran sekecil apapun. Semua tenggelam dalam harapan-harapan arus besar mesin raksasa yang menggerus debu-debu berukuran nano yang mengerubunginya. Pilihannya hanya satu (dan itu artinya bukan pilihan): yang tak mau ikut, mampuslah!
Begitu dahsyatnya sang raksasa kota besar mencengkeram jiwa-jiwa kehausan dengan cakar-cakarnya yang begitu kukuh, sehingga mampu membunuh segala cita-cita ideal yang dulu diyakini sebagai sesuatu yang mulia. Tak ada lagi janji-janji luhur yang dulu pernah mengantarkan mereka ke pusaran ini. Tak ada. Yang ada hanya semua yang serba seragam, menuju satu titik yang sesungguhnya tak seorangpun tahu ada di mana. Yang tersisa hanya lenguhan dan erangan jiwa-jiwa kering kehausan, sibuk mencari entah apa, yang mereka sendiri tidak tahu dan bahkan tidak diyakini ada.
Maka ketika setitik kesadaran yang tersisa mengetuk dinding nurani dengan kelelahan yang amat sangat, segala kekuatan cinta seolah menjadi tuli. Tak ada lagi puteri yang terbangun dari tidur oleh ciuman sang pangeran. Tak ada lagi pangeran yang menyamar jadi kodok. Semua transparan, sekaligus gelap. Semua berputar-putar dalam gerakan mekanis yang tak mampu lagi dilawan, bahkan oleh tekad yang paling kuat sekali pun. Kerangkeng hedonis memenjarakan otak dan pikiran: hari ini makan apa, hari ini makan siapa?
Seperti tertulis dalam Dust in The Wind: All we are is dust in the wind. Ya, kita hanyalah debu dalam angin. Debu-debu yang tercerabut, yang bahkan tak mampu menguasai jiwanya sendiri.
Aku menggigil, jadi saksi pertunjukan teater besar yang sangat memilukan.
Jakarta, 31 Januari 2008
0 comments:
Posting Komentar