oleh: Tata Danamihardja
'Membaca' puisi yang saya maksudkan di sini adalah merasakan, menikmati dan menilai sebuah puisi. Jadi, bukan membaca dalam arti mendeklamasikan puisi. Jangan pernah mengharapkan saya akan membedah secara teoretis soal itu, sebab dalam hal ini saya tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Yang saya lakukan hanyalah berbagi dengan Anda tentang apa yang saya lakukan dalam 'membaca' sebuah puisi, baik itu karya orang lain maupun tulisan sendiri.
Karena saya tidak berlatarbelakang pendidikan sastra, maka yang pertama bermain adalah rasa. Maksudnya porsi terbesar yang mempengaruhi penilaian saya adalah rasa, dan bukan segala teori yang tidak saya kuasai dan belum pernah saya pelajari. Apakah kata-katanya mengalir? Biasanya saya merasa agak terganggu dengan kata-kata yang terlalu hebat meloncat-loncat, atau perpindahannya terlalu tajam dari satu simbol ke simbol yang lain. Ini bukan soal bagus atau jelek, melainkan hanya soal pilihan. Dan secara pribadi, hingga saat ini saya lebih memilih sesuatu yang tidak terlalu menyentak-nyentak.
Yang berikutnya adalah soal diksi atau pilihan kata. Dalam menulis puisi, saya lebih suka menggunakan kata-kata biasa, kata-kata yang tidak terlalu asing bagi orang kebanyakan seperti saya. Jika Anda mengenal lagu-lagu Chrisye yang ditulis oleh Guruh di tahun 80-an, syairnya banyak mengandung kata-kata dari bahasa Sanskerta. Meski secara keseluruhan saya sangat menyukai lagu-lagunya, tapi tetap saja bagi saya pilihan katanya adalah sebuah kegenitan. Perhatikan misalnya kata-kata dalam lagu Smara Dahana:
Ratih dewi, citra khayalku prana, dalam hidupku...
Andhika dewa, sirna duli sang smara, merasuk sukma...
Jujur, hingga saat ini saya hanya bisa menebak-nebak makna dari kata-kata tersebut. Puisi memang harus membuat orang berpikir, merenung, menjelajahi kedalaman makna. Tapi tentu tidak perlu sampai membuat orang mencari-cari toko buku yang menjual kamus Sanskerta :)
Familiar dengan lagu-lagu Iwan Fals? Perhatikan lirik-lirik lagunya yang bersahaja dan jarang mengada-ada. Meski tak pernah dijuluki penyair, saya memandangnya sebagai penyair. kata-katanya puitis dan menawarkan hal-hal yang baru. Membandingkan mata yang bulat indah dengan bola pingpong (dalam lagu Mata Indah Bola Pingpong) misalnya, bagi saya adalah simbolisasi yang baru dan orisinal. Saya juga tercengang dengan cara dia membandingkan (maaf) pantat dengan salak raksasa dalam lagu Guru Zirah. Seumur-umur, saya baru mendengar perbandingan yang seperti itu. Anehnya, apa yang dia lakukan tetap terasa wajar dan tidak mengada-ada. Makanya saya katakan dia menawarkan sesuatu yang baru.
Kalau soal puisi yang dijadikan lagu, maka Ebiet G. Ade adalah favorit saya. Dia memang penyair yang kebetulan diberi kelebihan lain: suara yang indah. Dia bahkan mampu menyajikan erotisme dalam bahasa yang halus, puitis dan santun dalam syair lagu Cinta di Kereta Biru Malam:
Semakin dekat aku memandangmu,
semakin tegas rindu di keningmu
Gelora cinta membara di pipimu
Gemercik hujan di luar jendela
Engkau terpejam bibirmu merekah
mengisyaratkan hasrat di tanganmu
Selimut biru yang kau ulurkan kepadaku
Penahan dingin di kereta Biru Malam
Kau nyalakan gairah nafsuku, kau hela cinta di dadaku
hm..
Kau ciptakan musik irama tra la la la la la la
Kau ciptakan gerak irama tra la la la la
Kau ciptakan panas irama tra la la la la la la
Kau ciptakan diam irama tra la la la la ha ha ha ha
la la la la hm hm la la la la hm hm la la la la
Bahkan bait ketiga yang sesungguhnya merupakan bagian 'paling panas' dituliskan Ebiet dengan simbol-simbol yang justru paling halus. Hebatnya, kata-kata yang dipilihnya justru kata-kata yang sederhana dan sering kita temukan dalam keseharian. Jauh dari kesan genit dan pamer.
Kembali ke soal 'membaca' sebuah puisi, yang tidak kalah pentingnya bagi saya adalah soal menuliskan kata dengan benar. Ini penting bagi saya untuk membantu memudahkan dalam memahami makna secara keseluruhan. Logikanya, bagaimana kita bisa memahami makna puisi dengan baik jika kita masih harus disibukkan dengan memikirkan ejaan yang salah, kata-kata yang disingkat dll. Paling tidak, agar tulisan kita bisa dinikmati dengan baik, kesalahan-kesalahan seperti ini harus ditekan seminimal mungkin.
Terakhir, yang harus menerus saya katakan berulangkali, ini bukan tutorial apalagi teori yang wajib Anda patuhi. Saya bukan orang yang pantas untuk melakukan itu. Apa yang saya tuliskan di sini hanyalah apa yang ada di dalam otak saya saat ini, berdasarkan apa yang saya serap dari apa yang ada di sekitar saya. Apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, apa yang saya baca, apa yang saya alami, apa yang saya pahami. Jadi bisa saja ada benarnya, tetapi yang pasti akan sangat banyak salahnya. Dan perkara dibaca orang atau tidak, sejujurnya itu sama sekali bukan urusan saya.
Maka jika Anda sudah terlanjur membaca sampai di sini, Anda tak perlu menjadi ragu atau takut untuk menulis sesuatu. Bahkan kalau Anda sama-sama pemula seperti saya, harusnya kita menjadi lebih terdorong untuk mencoba hal-hal baru tanpa rasa takut. Toh yang membaca kan kita-kita juga. Saling berbagi, baik langsung atau tidak, akan membuat proses belajar menjadi lebih cepat dan menyenangkan.
Ayo terus menulis!
17/02/2011